Senin, 06 Juli 2009

Cerita dari spanyol

Suatu sore, ditahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang disitu
terasa hening mencengkam. Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang
terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan. Setiap sipir
penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu
berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik
tuan Roberto yang fanatik Kristen itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang
mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
'Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!' Teriak Roberto
sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata. Namun apa yang terjadi?
Laki-laki dikamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya.
Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan
yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congak ia
menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya
tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan
seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang
pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata Rabbi,
wa ana'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak
bertakbir sambil berkata, 'Bersabarlah wahai ustadz...InsyaALlah tempatmu
di Syurga.' Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama
tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya. Ia
diperintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh
orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai. 'Hai orang tua
busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?! Aku tidak
suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah orang tua dungu,
bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan bapak kami, Tuhan
Yesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang
seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Sebagai balasannya engkau
akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mau minta Maaf dan masuk agama kami.'
Mendengar 'khutbah' itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap
Roberto dengan tatapan tajam dan dingin. Ia lalu berucap, 'Sungguh...aku
sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku
yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan
karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai
manusia busuk?
Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.'
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di
wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai
penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itulah dari saku baju
penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto
bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu
mengambil dan menggenggamnya erat-erat. 'Berikan buku itu, hai laki-laki
dungu!' bentak Roberto. 'Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran
dosa untuk menyentuh barang suci ini!' ucap sang ustadz dengan tatapan
menghina pada Roberto. Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil
jalan paksa untuk mendapatkan buku itu. Sepatu lars berbobot dua kilogram
itu ia gunakan untuk menginjak jari-jari tangan sang ustadz yang telah
lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.
Namun tidak demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa
bangga mendengar gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara'
itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari
jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang
membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah
lusuh. Mendadak algojo itu termenung.'Ah...sepertinya aku pernah mengenal
buku ini. Tapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini.' suara hati
Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu.
Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat
tulisan-tulisan 'aneh' dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan
seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi
Sepanyol. Akhirnya Roberto duduk disamping sang ustadz yang telah melepas
nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda
tanya yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras
mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan,
sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu
teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar
di negeri tempat kelahirannya ini. Sore itu ia melihat peristiwa yang
mengerikan dilapangan Inkuisisi [lapangan tempat pembantaian kaum
muslimin di Andalusia]. Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan
nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di
hujung kiri lapangan,beberapa puluh wanita berhijab [jilbab] digantung
pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan
tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan
berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda
Islam dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mau
memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.
Seorang bocah laki-laki mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu
masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap.
Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Bocah mungil itu
mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang
gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang tak
sudah bernyawa, sembari menggayuti abuyanya. Sang bocah berkata dengan
suara parau, 'Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah
ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta,
tsa....? Ummi, cepat pulang ke rumah ummi...' Bocah kecil itu akhirnya
menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya. Ia semakin
bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun
ia tak tahu arah. Akhirnya bocaah itu berteriak memanggil bapaknya,
'Abi...Abi...Abi...' Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang
bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh
beberapa orang berseragam. 'Hai...siapa kamu?!' teriak segerombolan
orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah. 'Saya Ahmad Izzah, sedang
menunggu Ummi...' jawab sang bocah memohon belas kasih.
'Hah...siapa namamu bocah, coba ulangi!' bentak salah seorang dari
mereka. 'Saya Ahmad Izzah...' sang bocah kembali menjawab dengan agak
grogi. Tiba-tiba 'plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah. 'Hai
bocah...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang
kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang 'Adolf
Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau
sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!' ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata. Anak
laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya
keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama
mereka. Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat
ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat
pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu.
ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak
histeris,'Abi...Abi...Abi...'
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.Fikirannya
terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil
yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang dulu
sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua ingat
betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar. Pemuda beringas
itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah. Tampak sekali
ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang
sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan
menyebut, 'Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha...' Hanya sebatas kata
itu yang masih terakam dalam benaknya. Sang ustadz segera membuka mata
ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan
tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyeksanya
habis-habisan kini tengah memeluknya.'Tunjuki aku pada jalan yang telah
engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan itu...' Terdengar suara
Roberto memelas. Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia
lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak,
jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa
dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini
semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap. 'Anakku, pergilah engkau
ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal
dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di
negeri itu,' Setelah selesai berpesan sang ustadz menghembuskan nafas
terakhir dengan berbekal kalimah indah 'Asyahadu anla Illaaha ilAllah, wa
asyahadu anna Muhammad Rasullullah...'. Beliau pergi dengan menemui
Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana
ini. Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh
hidupnya dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang
dimasa muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai
penjuru berguru dengannya...' Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy. Benarlah
firman Allah... 'Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
ALlah, tetaplah atas fitrah ALlah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrahnya itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.' [QS>30:30]

0 komentar:

Temen